4/14/2013

Maskara Jantan



Harusnya aku berada di sana dengan tumpukan gulungan kain dan berbagai pola. Mengenakan baju-baju lucu dan bersolek sesuka ria. Maskara hitam lentik, gincu merah marun, dan syal berbulu domba yang halus. Duduk manis di barisan penonton Milan Fashion Week sebagai tamu terhormat. Merancang gaun mahal untuk artis-artis ternama di dunia. Mungkin juga aku akan menjadi seorang psikolog hebat. Menjadi tempat konsultasi orang-orang dengan masalah rumit mereka. Namun, mimpi tinggallah mimpi. Fakta tetaplah tercetak jelas.

Namaku Prima Adrinata. Umurku 27 tahun. Aku terlahir di keluarga normal seperti keluarga-keluarga lainnya. Orang tuaku adalah hasil dari perjodohan nenek. Tak perlu heran jika kebahagiaan mereka berbeda. Aku anak ke empat dari lima bersaudara. Seluruh saudaraku telah menjadi “orang”. Dua kakak laki-lakiku adalah angkatan laut. Saat ini mereka berada di luar pulau bersama keluarga masing-masing. Aku tinggal di kota metropolitan ini dengan kedua orang tuaku.

Pendidikan terakhirku sarjana psikologi universitas ternama. Banyak orang berkata bahwa aku pintar dan tampan. Jangan heran jika aku mengirim CV ke perusahaan manapun, aku pasti lolos sempurna.

Dunia pergaulanku sempit, bahkan sangat sempit. Bahasa jaman sekarangnya kuper, kurang pergaulan. Kalian tidak akan pernah menemukanku di tempat-tempat hang out, seperti cafe atau coffeshop. Aku benci berada dikeramaian. Aku selalu berkata pada diriku bahwa aku tidak normal. Berbeda dari mereka. Kodratku yang hanya angin lalu semakin mengucilkanku.

Aku aneh. Iya, menurutku dan menurut semua orang, termasuk keluarga. Entahlah aku tidak tahu siapa diriku sebenarnya. Kau berpikir aku seorang sarjana pengangguran yang sedang setengah  gila? Ada pula yang berpikir bahwa aku ini gila.

Semuanya berawal semenjak aku masih putih abu-abu. Dulu aku adalah alumnus sekolah menengah atas yang terkenal dengan kaum borjuisnya. Pelataran parkir sekolahku lebih mirip showroom mobil mewah. Mirisnya setiap hari aku hanya naik angkutan umum. Mengapa aku tidak bisa seperti mereka? Suatu malam aku pernah bertanya hal ini pada ayahku, jawaban beliau, “Sudahlah nak jangan pikirkan mereka. Gemerlap hidup mewah tak menjamin kebahagiaan hidupmu.” Kesederhanaan hidupku juga tak menjamin kebahagiaan. Ironis. Masa SMA adalah masa terberat dan menjadi beban pikiranku. Aku semakin tertutup dan pemalu. Sahabat atau teman curhat tak pernah ku punya. Diam-diam dalam hati aku membenci kaum-kaum yang tinggi itu. Aku harus tetap bertahan dengan “keangkuhan” hidup mereka. Ironis.

Keadaan semakin parah ketika aku mulai masuk perguruan tinggi. Aku merasa memiliki “aku” yang lain. Sisi lain diriku mulai muncul perlahan-lahan. Ada getaran aneh saat aku melihat sesama jenisku yang tampan. Ada perasaan “ingin mencoba” ketika alat-alat make up saudara perempuanku tergeletak acak-acakan di meja riasnya. Tanpa sepengetahuan keluarga diam-diam aku selalu menggambar design gaun perempuan. Semuanya aku sembunyikan dari lingkungan. Tak ada yang tahu satu orang pun.

Hingga suatu malam aku menguji nyaliku dan menceritakan semuanya pada ayah. Aku juga mengutarakan bahwa aku ingin menjadi designer gaun perempuan seperti mendiang Alexander McQueen. Dua puluh menit setelah aku bercerita, tangan tua ayah menampar keras pipiku. Suara beratnya berteriak keras di gelapnya malam,“KAU INGIN MEMPERMALUKAN KELUARGAMU? KAU ITU LAKI-LAKI! BERLAKULAH SESUAI KODRAT YANG TUHAN BERIKAN PADAMU!”

Sayup-sayup aku mendengar ibuku menangis. Mungkin beliau kecewa dan terpukul batinnya menerima kenyataan bahwa anak laki-lakinya bukanlah pejantan tangguh. Terhitung sejak malam ini hubunganku dan keluarga memburuk. Kondisi psikisku juga semakin kacau. Aku sering mengamuk dan terkadang memukuli ayah. Bertahun-tahun aku terkurung dalam jiwa yang “bukan aku”. Kebahagiaan kedua orang tuaku mulai terusik. Ibuku lebih sering menangis dan ayah hanya diam, namun, aku tahu dalam dirinya beliau ingin marah. Mereka juga berusaha menyembunyikan masalah ini kepada keluarga besar masing-masing. Saudara-saudaraku tahu akan hal ini, namun, mereka diam. Pura-pura tidak tahu mungkin lebih baik.

Keluarga kata orang-orang pintar adalah tempat paling pertama yang akan kau cari saat kau kehilangan arah. Nol besar untukku. Mereka menekanku. Secangkir teh hangat yang menemaniku setiap pagi, bukan teh hangat untuk manusia normal lainnya, namun ini khusus untukku. Obat penenang, bius, pemabuk atau apalah namanya selalu membuatku tenang, namun jiwaku berontak. Setiap hari aku hanya di rumah, berbaring di tempat tidur, atau membaca buku. Mimpiku telah berhamburan ke langit. Sebuah balon terbang yang telah terbang tinggi tidak akan pernah bisa kembali ke tanah lagi.

Pernah aku mencoba bekerja kantoran, tapi tak pernah bertahan lama. Satu-dua minggu pertama aku menjadi orang yang menyenangkan di tempatku bekerja. Menginjak dua bulan aku tidak betah berlama-lama berada di keramaian. Teman-teman sekantorku mulai menjauh satu persatu. Sedikit demi sedikit mereka menganggapku aneh. Aku sudah mendengar mereka menggunjingkanku. Devy, seorang sekretaris bos yang terkenal tukang gosip paling sering menjadikanku bahan gosipnya dengan perempuan-perempuan lain di kantor.

Gue pernah ngeliat si Prima lagi gambar gaun cewek, gambarnya sih bagus tapi kan ga cowok  banget. Dan elo tau di folder fotonya dia banyak foto cowok-cowok ganteng.  Mulai dari situ gue yakin kalo dia HO-MO!” Dengan gaya centilnya yang khas memilin-miling ujung rambut.  Aku tidak sengaja mendengar ketika berjalan menuju pantry dan para perempuan itu sedang berkumpul di kubikel Devy. Menjijikkan. Penekanan kata homo yang memang di sengaja saat aku lewat di depan mereka. Satu minggu kemudian aku resign dan kembali pada aktivitas lamaku.

Siang itu aku duduk-duduk di ayunan taman belakang rumah. Dua keluarga besar ayah ibuku sedang berkumpul di ruang tamu. Entah mereka sedang mengadakan pertemuan apa aku tak ingin tahu. Sepertinya mereka tahu apa yang terjadi, tetapi mereka memilih menganggap tidak terjadi apa-apa. Seluruh saudaraku juga datang, aku yakin mereka sepakat untuk pura-pura tidak peka.

“Prima, bengong aja nih? Gabung yuk di dalem, semuanya lagi pada ngumpul tapi kamu aja di sini. Bengongin apaan sih?” Helena, anak tanteku yang dulu semasa kecil sering bermain balap sepeda denganku. Sedetik aku hanya menoleh dan tersenyum. Malas. Aku malas menanggapi orang yang sok care. Helena menatapku tak berkedip, mungkin dia menunggu jawabanku.

“Di sini ternyata Prima. Ayahmu menunggu di dalam, sepertinya ada yang ingin beliau bicarakan.” Belum sempat aku menanggapi Helena, Tante Ria datang menyuruhku bergabung dengan para tamu. Ayah ingin membicarakan sesuatu denganku. Tentang apa? Entahlah.

Tiga tahun kemudian...

Saat kau membaca bagian ini, aku sedang berada di backstage Paris Fashion Week Spring 2013 Collections bersama 30 model dari berbagai negara. Tiga tahun belakangan aku sibuk dengan dunia designer dan butik yang sudah setahun berjalan. Kau bingung mengapa aku bisa seperti ini?
Saat pertemuan keluarga tiga tahun lalu ayah membahas masalahku di depan semua keluarga. Pada awalnya aku marah dan malu. Beberapa om dan tanteku terkejut karena setahu mereka aku normal-normal saja seperti kedua kakak laki-lakiku. Ayah menyetujui cita-citaku sebagai seorang designer, namun dengan satu syarat, aku tetap harus menikah dengan seorang perempuan. Aku terima keputusan ayah dan berjanji akan memenuhi syaratnya.

Aku tidak menyangka jika pada akhirnya ayah dan ibu akan berubah pikiran. Mereka orang tua terhebat untukku. Sisi gelap hidupku seperti terhapus oleh kebaikan dan keluluhan hati mereka.

Enam bulan kemudian aku terbang ke Paris untuk sekolah mode. Paris adalah negara impianku. Sudah tiga tahun aku menetap di Paris, setiap tiga bulan sekali atau saat jadwal kosong aku sempatkan pulang ke Indonesia menjenguk ayah dan ibu. Hidupku semakin bahagia dengan kehadiran Revina, istriku tercinta.

Ayah ibu, kebahagian anakmu bermula dari sehelai kain dan kebahagiaan kalian aku jahit rapi di helai-helai mimpiku yang berpola indah.

                

1 komentar: