6/25/2013

The Cold Latte: Cinta itu Seperti Latte

Aku terseok-seok. Kau bisa mendengar suara kakiku yang menyeret? Jari kakiku mulai berdarah. Tercium bau anyir. Kuku-kukuku sedikit demi sedikit mulai tergerus. Aku hanya bisa melihat, namun tak bisa ku rasakan. Mati rasa. Sedikit perih, tidak terlalu. Sakit, jika bisa. 

Kakiku semakin cepat menyeret. Lihat! Bukan hanya kukuku yang habis, kulit jari-jariku mengelupas. Seperti air terjun, cairan kental merah semakin deras dan berceceran dimana-dimana. Semakin cepat.....cepat.....cepat.....cepat.....cepat.....................dan..............kau yang menyeretku. Kau berhenti di ujung jalan setapak yang curam. Tubuhku tergeletak begitu saja. Nafasku hitungan satu-dua. Gaun putihku kotor oleh tanah dan darah, sebagian terkoyak dimana-mana. Rambutku terurai tak karuan, Aku tidak bisa jelas melihatmu. Badanmu membungkuk naik turun dan tanganmu mengayu-ayunkan sesuatu ke tanah. Kau seperti.................... sebentar! Menggali tanah? Untuk apa? Kau akan menguburku hidup-hidup? Tidak! Aku masih hidup. Nadiku masih berdenyut. Otakku masih berpikir. Jantungku masih berdetak. Darahku masih mengalir. Goncangkan saja tubuhku dan aku pasti bangun! 

"Cukup dalam....." Kau setengah bergumam dan meletakkan cangkul berkarat di tanah. Aku bisa menebak kau berjalan ke arahku dan menyeretku lagi. Kali ini langkahmu semakin cepat seperti anak kecil yang menerima balon gratis. Aku mencoba mencari penyesalan melalui genggaman erat tanganmu, namun, tidak ku temukan. Tanganmu dingin sedingin langkahmu.

Kau berhenti setengah meter dari tanah yang kau gali dan melepaskan genggaman kokohmu di tanganku. Aku beringsut setengah membungkuk mencoba bangun dan menahan tubuhku dengan kedua tangan. Belum sempat aku berkata, kau mencuri start......

"Kabur saja tidak apa-apa. Aku tidak akan mencegahmu. Lubang itu akan aku tutup kembali sebelum menjadi tempat tinggal para tikus." Kau berkata membelakangiku dan tetap dengan nada dingin.

"Kau pantas menguburku hidup-hidup! Balasanmu setimpal dengan perlakuanku dimasa lalu!" Aku setengah berteriak menaikkan suaraku beberapa oktaf.

"Mungkin aku telah menutup segala penjuru pintu maaf untukmu, tetapi, aku tidak mampu menutup pintu perasaanku padamu. Kau candu, seburuk apapun perlakuanmu bagiku. Sepertinya aku tidak bisa menyalahkanmu mengapa kau memilih laki-laki itu, sebut saja aku tidak mengisi kekuranganmu dan kelebihanmu sepenuhnya belum aku miliki. Ada kalanya aku harus melepaskan untuk belajar mempertahankan dan aku telah berhasil melepaskanmu, namun, tidak dengan mempertahankanmu."

Dia berkata panjang lebar seperti tidak memberiku kesempatan berbicara. Aku sepenuhnya bersalah dan tak perlu memberi pembenaran apapun. Ada jeda diantara kita berdua seperti ingin menyelami pikiran masing-masing. Aku memandang tanah yang ia gali. Tidak hanya aku yang ingin dia kubur, tetapi, kenangan kita berdua. Akal sehatmu tidak akan bekerja dengan baik saat kau mengingat momen buruk dalam hidup. Kepalamu akan terasa berat, tubuhmu dingin, dan aliran darahmu terasa berhenti sejenak. Seluruh tubuhmu secara otomatis akan memberi respon tidak mengenakkan. 

Angin menerpa wajahku dan menggelitik tengkuk. Dingin. Kau tetap bergeming di posisimu memandang jurang yang menganga lebar dibawah bukit tempat kita berdiri. Bukit dengan jalan setapak yang curam sekian derajat. Kau seperti telah mengenal tempat ini sebelumnya. Gesture tubuhmu memperlihatkan kenyamanan. 

"Harusnya kau tak perlu susah payah menggali tanah itu untuk menguburku. Jurang ini cukup dalam dan rasanya lebih setimpal. Kau mendorongku tanpa tedeng aling-aling lalu aku akan mati dalam sekejap. Persis seperti yang aku lakukan padamu, tepatnya hatimu. Tanpa tanda apapun aku meninggalkanmu dan menghancurkan seluruh dinding hatimu. Kedudukan kita akan satu sama." Aku berseloroh tanpa berpikir.

Kau tidak menjawab dan berjalan ke arah kuburanku. Entah apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu, namun, kau menimbun kembali lubang itu dengan tanah. Sesaat aku tersentak melihat bulir air matamu jatuh melebur bersama tanah. 

"Kau menangis? Untuk apa dan untuk siapa?"

Tetap tanpa memandangku kau menjawab, "Aku menangis untuk diriku sendiri. Aku gagal membahagiakanmu dengan caraku. Sekarang perasaanmu benar-benar tak tersisa. Maaf untuk kebiadabanku hari ini. Aku hanya melakukan yang sepantasnya aku berikan kepada orang yang telah meruntuhkan segala mimpiku. Aku tidak peduli kau akan mati hari ini atau menumbuk perasaan lebih untuk laki-laki itu. Sebenarnya aku berharap apa yang kau lakukan dan rasakan hanya terjadi di bawah alam sadarmu, sehingga kau tak pernah benar menyadari."

Aku berdiri tertatih menahan perih di kaki dan memandang jurang di bawah. Kau benar, apa yang aku rasakan dan lakukan sebenarnya berada di bawah alam sadarku, sehingga aku tidak menyadari perasaan ini masih hidup dan tumbuh untukmu. 

Dulu aku terbuai sesaat dengan laki-laki itu. Sampai suatu hari aku menyadari bahwa aku tidak menemukan tujuan dengannya. Tujuan hidupku adalah dirimu, hatimu, dan jiwamu. Selalu ada kata terlambat untuk mencintai, aku benar-benar terlambat merasakan cintamu yang hangat dan perlahan mendingin untukku.

17:00, di sudut coffeeshop........
"Hari ini juga aku harus menyerahkan naskah ini kepada editor." Wanita itu bergumam kepada dirinya sendiri hingga nyaris tak terdengar.

Sore ini dia terlihat sangat segar dengan celana high waist denim biru langit yang dipadukan dengan chiffon blouse berwarna peach, moodnya sedang bagus mengenakan knitted shawl beraksen bola-bola kecil berbulu dipinggirnya. Mata madunya memandang lurus layar notebook membaca ulang cerita fiksi sebelum ia serahkan kepada editor. Cerita itu tidak sepenuhnya fiksi, karena, tokoh yang ia tuliskan memang ada dalam hidupnya dan dia salah satunya. Jalan ceritanya pun pernah ia alami.

Ketika kau kehilangan orang yang kau cintai, maka, kau akan mengenal dua kata yaitu terlambat dan dingin. Hatimu terlambat menahannya untuk tetap tinggal, lalu perasaannya yang dulu hangat kepadamu perlahan akan mendingin. 

Wanita itu menyesap secangkir latte yang sudah dingin, lagi-lagi ia terlambat meminumnya. Ia meninggalkan selembar uang lima puluh ribu di meja dan segera membereskan notebooknya lalu  bergegas pergi meinggalkan coffeeshop. Membiarkan latte itu semakin dingin.