7/01/2013

Break The Rule

"Kau tidak bisa bertingkah seperti ini! Kau harus tetap tinggal di rumah dan keluarkan semua baju-bajumu dari koper!" Seoran ibu setengah baya berkata menahan amarah yang sedari tadi ia kontrol agar tidak berteriak. Malam ini suasana rumah terasa mencekam. Seorang anak perempuan berumur 23 tahun sibuk memasukkan baju-baju ke dalam sebuah travel bag

Perempuan itu sudah menangis sejak beberap menit yang lalu, "Apa?? Tinggal di rumah ini?? Rumah yang selalu mengubur mimpi orang-orang yang berada di dalamnya maksud ibu?? Begitu?? Aku punya mimpi yang harus aku selesaikan dan itu tidak akan terjadi jika aku tetap makan dan minum di rumah ini." Dadanya terasa sesak karena menahan beban yang sudah ia pendam berpuluh-puluh tahun. 

"Mimpimu sudah ibu tentukan dan kau tidak bisa menawar apapun! Lihat semua kakakmu sekarang sudah menjadi "orang" dan mereka tidak pernah bertindak bodoh sepertimu! Mereka bahagia dengan hidup mereka berkat ibu dan kau harus belajar dari kedua kakakmu.!" Ibu setengah berteriak dengan nafas yang tersengal-sengal karena emosi.

"Bahagia dengan pilihan ibu bukan pilihan mereka dan bahagia dengan menikahi laki-laki yang sama sekali tidak mereka cintai. Dan lagi-lagi ibu bisa menyebut mereka bahagia ketika Alexa datang kemari tengah malam dalam keadaan babak belur karena dihajar suaminya sendiri, suami pilihan ibu! Bagaimana dengan Sandra yang melihat dengan mata kepala sendiri suaminya yang lagi-lagi pilihan ibu sedang bercumbu dengan wanita lain?? Mereka juga terpaksa mengubur cita-cita mereka karena sudah jengah berdebat dan bertengkar dengan ibu." Perempuan itu berkata sembari berteriak, menangis, dan meraung-raung seperti kesetanan tanpa peduli malaikat mencatat sebagai dosa yang tiada ampun karena meneriaki ibunya sendiri. 
Biarlah, aku benar-benar letih dengan semua ini, batinnya. 

Diantara tangisannya ia melanjutkan, "Ibu tidak bisa membalas masa lalu kepada kami! Aku, Alexa, dan Sandra tahu semua ini karena dendam masa lalu ibu kepada nenek yang telah menikahkan ibu dengan ayah dan membiarkan mimpi ibu menjadi seorang psikolog berhamburan lalu berkahir menjadi ibu rumah tangga. Ibu melanjutkan kembali episode masa lalu itu kepada kami, anak-anak ibu yang punya banyak mimpi di kepala. Aku tidak akan membiarkan hidupku bernasib seperti Alex dan Sandra!" Nesya, nama perempuan itu, berjalan keluar kamar menarik kopernya. 

Matanya terhenti pada seorang laki-laki yang umurnya lebih dari setengah abad sedang duduk di kursi ruang keluarga. Ayahnya selalu diam saat anak-anak perempuan mereka bertengkar dengan ibu. Mata mereka bertemu sekian detik dan ayahnya mengangguk sambil menunjuk pintu rumah dengan dagunya. Nesya mengerti apa yang ada dalam pikiran ayah. Dia bergegas meninggalkan rumah dan dengan jelas Nesya mendengar ibunya berteriak lantang.

"Pintu rumah ini tidak akan terbuka untukmu sampai kapanpun, Nesya!" 

Aku akan membuka sendiri pintu rumah itu dengan kesuksesanku nanti, batinnya.

Malam itu Nesya benar-benar meninggalkan rumah dan berjuang sendiri. Dia letih menjadi korban masa lalu ibunya. Nesya merasa keluarganya kacau, walaupun ayah ibu masih bersama.

Banyak hal yang terjadi pada kedua kakaknya tanpa sepengetahuan ibu. Alex, kakak sulungnya, ternyata sudah setahun ini berada di Singapura meniti karir menjadi model profesional. Dulu Ibu memaksa Alex menjadi seorang pegawai bank pemerintah. Alex juga menjalin hubungan terlarang dengan seorang fotografer sebuah majalah gaya hidup. Pernikahan dengan suaminya, Joe, pria keturunan Indo-Belanda, merupakan kesalahan besar dalam hidupnya karena Joe tidak memberinya nafkah sama sekali. Joe juga hobi "main tangan". Mereka sepakat tidak bercerai dahulu untuk sementara waktu demi ibu.

Sandra, kakak nomer dua, lagi-lagi tanpa sepengetahuan ibu, sudah menetap di ibu kota dan sibuk bekerja dengan  production house menyiapkan sekuel sebuah film. Dia menjadi script writer dan semua film yang naskah nya dia tulis selalu laku dipasaran. Pernikahannya juga kacau dengan pria kaya pemilik beberapa resort mewah di Bali. Theo, entah sudah berapa kali Sandra melihatnya sedang menggoda tamu-tamu wanita. Lebih parah lagi suatu malam Sandra melihat Theo sedang memeluk mesra seorang wanita bule di bar hotel.

Nesya memejamkan matanya dan menghirup nafas dalam-dalam. Sesak didadanya terasa semakin menusuk.  Bulir-bulir air mata deras membasahi pipinya. Dia berada di dalam taksi menuju bandara. Kepergiannya malam ini sudah ia siapkan jauh-jauh hari. Nesya juga sengaja menunggu hingga kuliahnya selesai dan menjadi sarjana, jadi dia tidak punya tanggungan apapun di kota ini. Bukan hanya untuk lepas dari tekanan ibu ia pergi dari rumah, namun, ada satu hal penting yang harus ia selesaikan. Naskah novel yang dia kirim ke penerbit ternama di Jakarta beberapa bulan lalu ternyata di terima dan sekarang sudah masuk percetakan, bahkan, seminggu lagi akan launching.

Suara deru mesin pesawat yang sedang take off terdengar sangat bising, namun, tidak bagi Nesya. Suara itu mendadak merdu di telinganya seperti mendengar suara kebebasan. Dia menghirup dalam-dalam hawa dingin di pesawat dan menghembuskannya perlahan seakan menikmati jengkal demi jengkal oksigen. Nesya merapatkan jaketnya dan bersiap untuk tidur selama penerbangan, namun, sayup-sayup dia mendengar lagu yang sangat ia kenal, bahkan ia menjadikan lagu itu soundtrack hidupnya sendiri. Kepalanya menoleh ke penumpang laki-laki berambut cepak di sebelahnya yang terlelap dengan earphone di telinga.

"Sepertinya pencari kebebasan sepertiku," Nesya menggumam dan memejamkan matanya diiringi lagu itu.


You could go the distance
You could run the mile
You could walk straight through hell with a smile

(Hall of Fame-The Script)