12/09/2013

Berbeda

Cinta kita mubadzir dan menyebalkan. Bukan cerita cinta yang layak
untuk dijadikan sebuah buku ataupun film.

Aku letakkan kardus coklat di lantai diantara barang-barang yang berserakan. Aku duduk bersila, menghela nafas panjang, melihat sekelilingku dengan tatapan yang entah aku tidak bisa menjelaskannya. Sejujurnya, aku sedih dan miris, semuanya berakhir seperti ini tanpa aku rencanakan. Kau yang membuat cerita indah, kau yang menjadi aktor, dan aku menjadi aktris paling bahagia saat itu. Aku mengambil sebuah foto berbingkai kayu coklat muda dengan aksen bunga yang kaku, foto kita dengan background suasana malam kota Jogja. Foto ini aku kumpulkan dengan barang-barang kenangan kita. Mungkin aku bisa membuang semua barang ini, namun, tidak dengan kenangan kita. Aku berusaha untuk mengabaikan apa yang mereka pikirkan, pendirianku tetap mencintaimu. Semakin besar perasaan ini, semakin aku merasa tidak ada jalan. 

"Apa yang akan kita lakukan dengan semua ini?", suatu malam aku pernah bertanya padamu.
"Aku tidak mengerti maksudmu."

"Iya. Tentang aku, kamu, dan perbedaan yang ada. Kita seperti berada dalam dua sel tahanan yang berbeda, namun satu ruangan, hanya bisa bertemu, tetapi tidak bisa bersatu. Kau pernah menganalogikan seperti itu?" 
"Aku tidak pernah mengandaikan kita. Aku hanya ingin kita benar-benar nyata dan ada. Itu saja. Saat kau mengandaikan sesuatu, sama saja kau sedang tidur dengan mata terbuka. Percuma."
"Baiklah. Kau pernah berpikir bagaimana dengan kita? Aku tidak mau hanya menjalani tanpa berpikir."
"Aku tahu Tuhan kita satu, hanya bentuknya saja yang berbeda. Jadi, kita ini tetaplah satu, walaupun berbeda. Tuhan menyatukan umatnya dengan cara yang unik dan sulit dimengerti, salah satunya kita. Perbedaan itu indah jika kita melihat dengan sudut pandang yang berbeda juga." 

Aku selalu percaya pada setiap inci cinta yang aku berikan untukmu adalah sebuah doa. Tanpa henti aku mengamininya setiap hari. Pun cintaku bertambah setiap hari, doaku semakin mekar, Tuhan semakin sadar, cinta kita bersandar. Dia mendengar doaku dan mengabulkannya, cinta kita benar-benar bersandar, karena ia letih berjuang. Sekencang apapun ia berlari, sekeras hatinya berusaha, tak ada garis finish diujung mata. Doaku turut berhenti dan mulut ini tak pernah lagi mengamini.

Apa aku bisa menyalahkan Tuhan karena cinta yang Dia takdirkan tak bergaris finish? Atau aku menyalahkan cupid yang salah membidik panahnya? Lebih parahnya apa aku yang salah karena mencintaimu? Mungkin kau juga salah karena membalas perasaanku. Entahlah bisa-bisa aku menyalahkan seisi dunia. 

Ku rapikan semua barang kenangan kita di dalam kardus coklat dengan hati-hati, aku takut secuil kenangan akan berhamburan keluar. Baiklah, saat aku menutup kardus ini, saat itu pula aku memulai cerita baru untukku dan Tuhanku.