Harusnya aku berada di sana dengan
tumpukan gulungan kain dan berbagai pola. Mengenakan baju-baju lucu dan
bersolek sesuka ria. Maskara hitam lentik, gincu merah marun, dan syal berbulu
domba yang halus. Duduk manis di barisan penonton Milan Fashion Week sebagai
tamu terhormat. Merancang gaun mahal untuk artis-artis ternama di dunia. Mungkin
juga aku akan menjadi seorang psikolog hebat. Menjadi tempat konsultasi
orang-orang dengan masalah rumit mereka. Namun, mimpi tinggallah mimpi. Fakta
tetaplah tercetak jelas.
Namaku Prima Adrinata. Umurku 27 tahun.
Aku terlahir di keluarga normal seperti keluarga-keluarga lainnya. Orang tuaku
adalah hasil dari perjodohan nenek. Tak perlu heran jika kebahagiaan mereka
berbeda. Aku anak ke empat dari lima bersaudara. Seluruh saudaraku telah
menjadi “orang”. Dua kakak laki-lakiku adalah angkatan laut. Saat ini mereka
berada di luar pulau bersama keluarga masing-masing. Aku tinggal di kota
metropolitan ini dengan kedua orang tuaku.
Pendidikan terakhirku sarjana
psikologi universitas ternama. Banyak orang berkata bahwa aku pintar dan
tampan. Jangan heran jika aku mengirim CV ke perusahaan manapun, aku pasti
lolos sempurna.
Dunia pergaulanku sempit, bahkan
sangat sempit. Bahasa jaman sekarangnya kuper,
kurang pergaulan. Kalian tidak akan pernah menemukanku di tempat-tempat hang out, seperti cafe atau coffeshop. Aku
benci berada dikeramaian. Aku selalu berkata pada diriku bahwa aku tidak
normal. Berbeda dari mereka. Kodratku yang hanya angin lalu semakin
mengucilkanku.
Aku aneh. Iya, menurutku dan menurut
semua orang, termasuk keluarga. Entahlah aku tidak tahu siapa diriku sebenarnya.
Kau berpikir aku seorang sarjana pengangguran yang sedang setengah gila? Ada pula yang berpikir bahwa aku ini
gila.
Semuanya berawal semenjak aku masih
putih abu-abu. Dulu aku adalah alumnus sekolah menengah atas yang terkenal
dengan kaum borjuisnya. Pelataran parkir sekolahku lebih mirip showroom mobil mewah. Mirisnya setiap
hari aku hanya naik angkutan umum. Mengapa aku tidak bisa seperti mereka? Suatu
malam aku pernah bertanya hal ini pada ayahku, jawaban beliau, “Sudahlah nak
jangan pikirkan mereka. Gemerlap hidup mewah tak menjamin kebahagiaan hidupmu.”
Kesederhanaan hidupku juga tak menjamin kebahagiaan. Ironis. Masa SMA adalah
masa terberat dan menjadi beban pikiranku. Aku semakin tertutup dan pemalu.
Sahabat atau teman curhat tak pernah ku punya. Diam-diam dalam hati aku
membenci kaum-kaum yang tinggi itu. Aku harus tetap bertahan dengan
“keangkuhan” hidup mereka. Ironis.
Keadaan semakin parah ketika aku
mulai masuk perguruan tinggi. Aku merasa memiliki “aku” yang lain. Sisi lain
diriku mulai muncul perlahan-lahan. Ada getaran aneh saat aku melihat sesama
jenisku yang tampan. Ada perasaan “ingin mencoba” ketika alat-alat make up saudara perempuanku tergeletak
acak-acakan di meja riasnya. Tanpa sepengetahuan keluarga diam-diam aku selalu
menggambar design gaun perempuan. Semuanya
aku sembunyikan dari lingkungan. Tak ada yang tahu satu orang pun.
Hingga suatu malam aku menguji
nyaliku dan menceritakan semuanya pada ayah. Aku juga mengutarakan bahwa aku
ingin menjadi designer gaun perempuan
seperti mendiang Alexander McQueen. Dua puluh menit setelah aku bercerita,
tangan tua ayah menampar keras pipiku. Suara beratnya berteriak keras di
gelapnya malam,“KAU INGIN MEMPERMALUKAN KELUARGAMU? KAU ITU LAKI-LAKI!
BERLAKULAH SESUAI KODRAT YANG TUHAN BERIKAN PADAMU!”
Sayup-sayup aku mendengar ibuku
menangis. Mungkin beliau kecewa dan terpukul batinnya menerima kenyataan bahwa
anak laki-lakinya bukanlah pejantan tangguh. Terhitung sejak malam ini
hubunganku dan keluarga memburuk. Kondisi psikisku juga semakin kacau. Aku
sering mengamuk dan terkadang memukuli ayah. Bertahun-tahun aku terkurung dalam
jiwa yang “bukan aku”. Kebahagiaan kedua orang tuaku mulai terusik. Ibuku lebih
sering menangis dan ayah hanya diam, namun, aku tahu dalam dirinya beliau ingin
marah. Mereka juga berusaha menyembunyikan masalah ini kepada keluarga besar
masing-masing. Saudara-saudaraku tahu akan hal ini, namun, mereka diam.
Pura-pura tidak tahu mungkin lebih baik.
Keluarga kata orang-orang pintar
adalah tempat paling pertama yang akan kau cari saat kau kehilangan arah. Nol
besar untukku. Mereka menekanku. Secangkir teh hangat yang menemaniku setiap
pagi, bukan teh hangat untuk manusia normal lainnya, namun ini khusus untukku.
Obat penenang, bius, pemabuk atau apalah namanya selalu membuatku tenang, namun
jiwaku berontak. Setiap hari aku hanya di rumah, berbaring di tempat tidur,
atau membaca buku. Mimpiku telah berhamburan ke langit. Sebuah balon terbang
yang telah terbang tinggi tidak akan pernah bisa kembali ke tanah lagi.
Pernah aku mencoba bekerja kantoran,
tapi tak pernah bertahan lama. Satu-dua minggu pertama aku menjadi orang yang
menyenangkan di tempatku bekerja. Menginjak dua bulan aku tidak betah
berlama-lama berada di keramaian. Teman-teman sekantorku mulai menjauh satu
persatu. Sedikit demi sedikit mereka menganggapku aneh. Aku sudah mendengar
mereka menggunjingkanku. Devy, seorang sekretaris bos yang terkenal tukang
gosip paling sering menjadikanku bahan gosipnya dengan perempuan-perempuan lain
di kantor.
“Gue pernah ngeliat si Prima lagi gambar gaun cewek, gambarnya sih bagus tapi
kan ga cowok banget. Dan elo tau di folder fotonya dia banyak
foto cowok-cowok ganteng. Mulai dari
situ gue yakin kalo dia HO-MO!” Dengan
gaya centilnya yang khas memilin-miling ujung rambut. Aku tidak sengaja mendengar ketika berjalan
menuju pantry dan para perempuan itu
sedang berkumpul di kubikel Devy. Menjijikkan. Penekanan kata homo yang memang
di sengaja saat aku lewat di depan mereka. Satu minggu kemudian aku resign dan kembali pada aktivitas
lamaku.
Siang itu aku duduk-duduk di
ayunan taman belakang rumah. Dua keluarga besar ayah ibuku sedang berkumpul di
ruang tamu. Entah mereka sedang mengadakan pertemuan apa aku tak ingin tahu.
Sepertinya mereka tahu apa yang terjadi, tetapi mereka memilih menganggap tidak
terjadi apa-apa. Seluruh saudaraku juga datang, aku yakin mereka sepakat untuk
pura-pura tidak peka.
“Prima, bengong aja
nih? Gabung yuk di dalem, semuanya lagi pada ngumpul tapi kamu aja di sini.
Bengongin apaan sih?” Helena, anak tanteku yang dulu semasa kecil sering
bermain balap sepeda denganku. Sedetik aku hanya menoleh dan tersenyum. Malas.
Aku malas menanggapi orang yang sok care.
Helena menatapku tak berkedip, mungkin dia menunggu jawabanku.
“Di sini ternyata
Prima. Ayahmu menunggu di dalam, sepertinya ada yang ingin beliau bicarakan.”
Belum sempat aku menanggapi Helena, Tante Ria datang menyuruhku bergabung
dengan para tamu. Ayah ingin membicarakan sesuatu denganku. Tentang apa?
Entahlah.
Tiga tahun kemudian...
Saat kau membaca bagian ini, aku
sedang berada di backstage Paris Fashion
Week Spring 2013 Collections bersama 30 model dari berbagai negara. Tiga tahun
belakangan aku sibuk dengan dunia designer
dan butik yang sudah setahun berjalan. Kau bingung mengapa aku bisa seperti
ini?
Saat pertemuan keluarga tiga tahun
lalu ayah membahas masalahku di depan semua keluarga. Pada awalnya aku marah
dan malu. Beberapa om dan tanteku terkejut karena setahu mereka aku
normal-normal saja seperti kedua kakak laki-lakiku. Ayah menyetujui cita-citaku
sebagai seorang designer, namun
dengan satu syarat, aku tetap harus menikah dengan seorang perempuan. Aku
terima keputusan ayah dan berjanji akan memenuhi syaratnya.
Aku tidak menyangka jika pada
akhirnya ayah dan ibu akan berubah pikiran. Mereka orang tua terhebat untukku.
Sisi gelap hidupku seperti terhapus oleh kebaikan dan keluluhan hati mereka.
Enam bulan kemudian aku terbang ke
Paris untuk sekolah mode. Paris adalah negara impianku. Sudah tiga tahun aku
menetap di Paris, setiap tiga bulan sekali atau saat jadwal kosong aku
sempatkan pulang ke Indonesia menjenguk ayah dan ibu. Hidupku semakin bahagia
dengan kehadiran Revina, istriku tercinta.
Ayah ibu, kebahagian anakmu bermula
dari sehelai kain dan kebahagiaan kalian aku jahit rapi di helai-helai mimpiku
yang berpola indah.